LiputanMu.ID – Harga Bitcoin terus menunjukkan tren kenaikan tajam di tengah ketidakpastian ekonomi global yang semakin dalam.
Kenaikan imbal hasil obligasi di Amerika Serikat dan Jepang, perlambatan pertumbuhan ekonomi global, serta turunnya kepercayaan konsumen di AS menjadi pemicu utama perubahan arah investasi.
Kondisi makroekonomi yang dulunya dianggap sebagai ancaman bagi Bitcoin kini justru menjadi pendorong kenaikan harganya.
Baca Juga: Analis Bitcoin: Harga Shiba Inu Mustahil Tembus $1, Ini Alasannya
Gejolak pada pasar obligasi AS, termasuk lonjakan imbal hasil Treasury dan krisis utang pemerintah yang telah menembus angka 36,8 triliun dolar AS, turut mendorong investor untuk mencari alternatif penyimpanan nilai.
Ketidakpastian kebijakan suku bunga Federal Reserve dan kekhawatiran terhadap campur tangan politik menambah tekanan terhadap pasar obligasi, yang secara historis dianggap sebagai aset paling aman.
Jepang dan AS Mengubah Arah Modal Global
Situasi serupa juga terjadi di Jepang, pemegang asing terbesar surat utang AS, yang kini mulai menaikkan suku bunga setelah bertahun-tahun mempertahankannya di zona negatif.
Imbal hasil obligasi jangka panjang Jepang melonjak, menandakan pergeseran strategi investasi dari institusi besar seperti dana pensiun dan asuransi.
Hal ini berpotensi mendorong pelepasan aset US Treasury, memperburuk tekanan pada pasar obligasi global.
Baca Juga: Google Dikabarkan Akan Izinkan Pengguna Akses Dompet Bitcoin Lewat Akun Google
Di tengah situasi ini, Bitcoin muncul sebagai pilihan utama investor institusional, seiring melonjaknya dana kelolaan ETF spot Bitcoin yang kini menembus angka 104 miliar dolar.
Aset kripto ini dinilai sebagai penyimpan nilai yang netral secara politik dan tahan terhadap fluktuasi sistem ekonomi berbasis utang fiat.
Dengan pasar yang masih jauh di bawah emas maupun aset dolar, Bitcoin dinilai masih sangat undervalued dan berpotensi menjadi instrumen keuangan utama di era baru ketidakpastian global.